Oleh Samuel Mulia
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/10/12/ 02031554/ meninggal
Dua minggu lalu, satu hari sebelum hari raya Idul Fitri, suami teman
saya meninggal dunia. Persis saat berbuka puasa di rumah temannya. Ia
terjatuh, kemudian segera dilarikan ke rumah sakit, tetapi sayang
seribu sayang dalam perjalanan itu hidupnya berakhir. Semua terjadi
mendadak.
Dua hari setelah itu, saya datang melayat dalam acara penutupan peti
jenazah. Saya disambut salah satu sanak keluarga dan dihantar ke
hadapan peti putih, tempat suami teman saya itu berbaring tak
bernyawa. Saya berdoa dan kemudian diam sejenak. Untuk pertama kalinya
saya mencoba untuk berdiam sejenak.
Hal ini tak pernah terjadi, bahkan saat hadir pada acara belasungkawa
yang entah berapa kali saya datangi selama hidup. Dan selama itu pula,
saya hanya datang, memasang rasa duka dan air mata kalau perlu, tetapi
tak sebersit pun berpikir seperti pada pagi hari itu, berdiam sejenak,
membayangkan saya yang berada di dalam peti mati, dalam balutan jas
lengkap, apa pun mereknya.
Sidak
Setelah itu saya menuju ke tempat duduk yang tersedia tak jauh dari
peti jenazah. Selang beberapa menit setelah duduk, pikiran mulai
membayangkan bagaimana kalau kejadian itu menimpa saya. Meninggal
mendadak, maksudnya. Seperti Tuhan sedang melakukan sidak. Saya harus
siap kapan pun. Tak pernah ada sidak yang dilakukan melewati sebuah
janji temu, kecuali ada yang membocorkan.
Seperti teman saya yang membuka gerai tas-tas aspal di sebuah mal,
yang segera mengakhiri percakapan saat kami sedang berkomunikasi lewat
telepon genggam karena mendapat bocoran kalau bakal ada sidak.
�Bentar ya, Mas, aku tutup toko dulu. Yaaa… gini deh kalau jualan
enggak bener. Dikejer-kejer mulu,� kata dia tanpa memberi kesempatan
saya berkomentar.
Kematian mendadak seperti datangnya maling yang tak pernah membuat
janji temu. Berarti seharusnya saya selalu siap sedia. Sudah tiga
pekan ini saya membaca majalah Tempo. Majalah mingguan ini menurunkan
liputan pencairan cek oleh para wakil rakyat tanpa melupakan tulisan
mengenai sebuah perusahaan besar yang mengemplang pajak hingga sekian
triliun rupiah, serta liputan investigasi pembunuhan seorang
pembongkar bisnis barang-barang peninggalan kuno bernilai tinggi yang
membuat si pembongkar kehilangan nyawanya suatu dini hari.
Membaca liputan semacam itu saya sampai lelah. Lelah karena tak tahu
mau bilang apa. Yang satu mengaku menerima cek, kemudian mengatakan
beberapa nama juga menerima cek. Beberapa nama tak mengaku menerima
cek dan mengatakan tuduhan itu tidak benar. Saya bingung, kalau tak
menerima cek, yaa… mbok yang membeberkan nama dituntut balik dengan
alasan pencemaran nama baik?
Sampai hari iniâ€"semoga saya tak salah membacaâ€"mereka, beberapa nama
itu, sepertinya tidak mengajukan tuntutan pencemaran nama baik. Atau,
mungkin belum. Saya jadi berpikir, sebetulnya mereka menerima cek apa
tidak, ya? Lhaaa… kalau nama saya disebut-sebut dan saya memang tak
menerima, yaa… saya tuntut balik, bukan?
Itu pikiran goblok saya, yang terlintas saat sedang berada di rumah
duka. Dan membayangkan saya yang menerima cek, mengemplang pajak,
menjadi pembunuh, dan meninggal mendadak, apakah kira-kira yang akan
saya jawab ketika Tuhan meminta pertanggungjawaban soal apa yang saya
lakukan itu? Mungkin saya akan gelagapan karena dipanggil mendadak.
Coba bisa tahu kapan adanya sidak, wah… saya sudah pasti akan
mempersiapkan jawaban-jawabannya.
�Sunset policy�
Saya berandai-andai, kalau ada yang bertanya atau menuntut saya di
dunia ini, maka saya bisa saja memberi sejuta alasan, berbelit ke
sana-kemari. Bahkan menyewa pengacara terbaik di negeri ini atau di
dunia. Saya bisa melakukan penyuapan. Kalau tak berhasil, saya akan
menggunakan jaringan pertemanan yang dibangun sejak lama dengan
nama-nama kondang ataupun tak kondang, tetapi memiliki pengaruh luar
biasa.
Pengaruh yang bisa menyelamatkan, yang tanpa disadari membuat saya
berutang budi kepada mereka. Dan kalau datang masanya mereka meminta
bantuan untuk menjatuhkan bahkan menyingkirkan seseorang, tentu mau
tak mau saya harus menunjukkan kesetiaan dalam bentuk a helping hand
kepada mereka.
Apa hal semacam itu bisa terjadi juga di pengadilan Tuhan? Saya belum
pernah mati, tetapi entah mengapa saya yakin sekali pengadilan itu
akan ada. Dan akan saya hadapi sendirian, tanpa pengacara kondang,
tanpa petinggi, tanpa pengusaha kondang, tanpa tukang jagal.
Masalahnya, saya selalu menyepelekan hal itu karena sejak dahulu saya
memiliki pemikiran bahwa akan datang waktunya Tuhan akan memberi saya
pengampunan. Jadi, nanti saja pertobatan itu, sekarang senang-senang.
Saya pun acapkali lupa neraka itu ada, sebagaimana surga ada. Karena
bertahun-tahun berpikir demikian, saya tak pernah merasa ketakutan
kalau datang ke rumah duka. Maka, saya katakan tadi, untuk pertama
kalinya saya memiliki waktu berdiam sekian detik dan membayangkan
dipanggil mendadak dan tidur di peti mati itu.
Siang itu, sepulang dari melayat, saya ketakutan. Takut kalau hari itu
mendadak dipanggil pulang untuk diadili. Mengapa takut? Saya belum
siap. Itu perkataan yang sudah bertahun lamanya saya ucapkan dengan
ringan. Saya tak pernah siap, tepatnya saya tak pernah mau berusaha
untuk siap. Saya lebih asyik menikmati keduniawian yang tidak benar
itu dan berpikir Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Jadi
saya pikir, Tuhan juga punya program sunset policy.
Samuel Mulia Penulis Mode dan Gaya Hidup
[Non-text portions of this message have been removed]